(Foto: REUTERS/WILLY KURNIAWAN)
Kebenaran tidak bisa semudah itu dihilangkan hanya dengan omongan orang banyak yang diucapkan terus-menerus. Fakta adalah fakta, bukti adalah bukti, dan kenyataan adalah bukti paling faktual yang bisa kita jadikan landasan untuk melihat sebuah fenomena.
Mata publik kini sedang melihat Anies Rasyid Baswedan, bakal calon presiden 2024 usungan Partai NasDem, dengan tatapan sinis. Itu karena Anies disebut harus ikut bertangungjawab atas meninggalnya 19 warga Tanah Merah akibat ledakan Depo Pertamina Plumpang, karena telah memberikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) kepada warga saat menjabat sebagai Gubernur. Tuduhan itu terus diamplifikasi oleh sejumlah pihak, terus-menerus, dengan sangat terstruktur.
Apakah tuduhan itu benar adanya?
Anies memang memberikan izin itu kepada warga Tanah Merah, tapi itu bukan karena Anies mendukung penempatan tanah ilegal, seperti yang dikatakan banyak orang, melainkan karena ingin membantu warga yang selama puluhan tahun tidak punya identitas setempat. Mereka kesulitan. Identitas warga itu tidak bisa mereka kantongi karena dianggap tinggal di lahan milik Pertamina.
Warga Tanah Merah berpuluh tahun menderita karena status mereka yang tak jelas. Mereka kesulitan mengurus akta kelahiran karena tanah yang mereka tempati tidak terdaftar. Mereka kesulitan mengurus KTP karena alamat mereka disebut ilegal dan mereka terpaksa harus “nembak” KTP daerah lain.
"Kalau orang di sini itu sering kesusahan. Ada yang meninggal di jalan, KTP-nya di Depok, berarti diantarnya ke Depok. Padahal orangnya tinggal domisilinya di sini. Ini kan banyak kejadian kayak begini," kata Frengky Mardongan, Anggota Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK), RW 09, Rawa Badak Selatan, Koja, Jakarta Utara, Senin (6/3/2023).
Tidak seperti warga normal yang ber-KTP, warga Tanah Merah tidak bisa menerima manfaat jika ada bantuan dari pemerintah, sementara banyak dari warga situ yang masih butuh bantuan. Fasilitas publik macam perbaikan jalan, sanitasi dan kebutuhan-kebutuhan dasar warga pun kerap terabaikan. Langkah Anies untuk memberikan IMB kepada warga Tanah Merah sesungguhnya adalah langkah kemanusiaan yang nyata.
Bisa dibilang, Anies hanya melanjutkan niat baik Jokowi yang kala itu menjabat Gubernur DKI pada 2012 lalu, yang sudah memberi mereka KTP. Itu artinya Jokowi juga peduli dengan nasib warga yang terpinggirkan itu. Namun, niat baik Jokowi itu juga mendapat serangan. Dirinya disebut turut andil dalam insiden tersebut karena telah melegalkan keberadaan warga yang tinggal di Tanah Merah.
Kalau mau lebih jujur melihat sejarah, warga Tanah Merah ini sebenarnya tidak semerta-merta menempati lahan tak bertuan. Mengutip Sindonews, sekitar tahun 1970, Pertamina datang dan menempati sebagian kecil lahan yang kini berdiri Depo yang mampu menyuplai 20 persen kebutuhan BBM dalam negeri itu.
"Bilangnya sih waktu itu cuma mau bikin lapangan voli, eh enggak tahunya datang juga satu tangki BBM," ujar Didin, salah satu warga Tanah Merah menceritakan tentang awal berdirinya Depo Pertamina di tempat itu.
Seiring berjalannya waktu, kedua pihak akhirnya secara berdampingan menempati lahan tersebut. Masalah kemudian timbul ketika pada tahun 1992, Depo Pertamina secara sepihak mengakui seluruh lahan Tanah Merah adalah miliknya.
Jika melihat peta lama dan menelusuri sejarah daerah Sunter-Koja-Kelapa Gading dan sekitarnya, wilayah tersebut awalnya berupa rawa dan sawah dengan beberapa kampung kecil di sekitarnya, seperti Kampung Kelumpang, Kampung Bendungan Melayu, dan Kampung Mangga di Tanah Merah.
Lokasi Depo Pertamina dan Tanah Merah, yang merupakan lokasi kebakaran aslinya, terletak di rawa yang dikenal sebagai Rawa Gelam. Pada tahun 1970-an, Summarecon mulai membangun Kelapa Gading dan beberapa wilayah sekitarnya. Hal ini menyebabkan terjadinya pengurukan besar-besaran di wilayah tersebut sehingga antara kampung-kampung yang terpisah dengan rawa dan sawah menjadi saling tersambung.
Masalah yang muncul adalah sulitnya menentukan batas tanah yang berasal dari kampung-kampung asli karena rawa yang dulunya ada di antara mereka kini telah diuruk. Persoalan ini dibiarkan terus berlanjut sejak kawasan Gading-Sunter diuruk dan dibangun pada tahun 1970-an hingga 1980-an dan pada awal tahun 1990-an, banyak pendatang yang mendiami "tanah tak bertuan" atau tanah kosong tanpa penjagaan, sehingga masalah hak atas tanah menjadi semakin rumit.
Meskipun Negara belum tuntas menyelesaikan masalah ini, "kesalahan Negara" tidak dapat dijadikan alasan untuk mengabaikan kemanusiaan. Warga di Tanah Merah mungkin tidak memiliki hak formal atas tanah tersebut, namun secara faktual, mereka telah tinggal dan menempati daerah tersebut selama lebih dari 20 tahun tanpa penyelesaian.
Dalam kasus ini, opini-opini memang terkesan mendapat ruang lebih besar dari pada fakta yang sebenarnya. Sebetulnya yang lebih patut dipikirkan lebih mendalam adalah solusi ke depan. Jangan sampai kebakaran besar yang sudah terjadi dua kali ini terulang lagi. Jangan sampai nyawa kembali melayang hanya karena opini-opini liar orang yang tak punya hati nurani itu mengaburkan fakta yang sebenarnya.
Comments