Maraknya politik uang masih menjadi salah satu tantangan terberat dalam Pemilu 2024 mendatang. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sampai mengaku kesulitan dalam melakukan pembuktian terhadap praktik money politic tersebut.
Berkaca pada Pemilu 2019 lalu, LSI menemukan sebanyak 19,31-33 persen atau setara dengan 37 juta hingga 65 juta pemilih terlibat dalam praktik politik uang.
Banyak faktor yang melatarbelakangi mengapa praktik politik uang marak terjadi di tengah pemilu. Salah satunya, aktor politik dari latar belakang apa pun mencoba memperoleh keuntungan materi dari sistem politik yang ada. Mereka menjalankan politik dengan pendekatan pragmatis, misalnya dalam bentuk uang, barang atau keuntungan lain sebagai imbalan atas dukungan politik.
Kemudian praktik politik uang juga dapat ditinjau dari perspektif sosial-ekonomi. Banyak pemilih hidup dalam kondisi miskin atau kekurangan ekonomi, sehingga tergoda oleh tawaran uang atau bantuan dalam bentuk lainnya dari calon legislatif atau partai politik. Akibatnya, mereka terdorong untuk memilih siapa yang telah memberi bantuan, alih-alih memilih dengan pertimbangan yang lebih rasional.
Selain itu, maraknya politik uang juga dapat dikaitkan dengan rendahnya tingkat pendidikan politik di kalangan pemilih. Karena tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang program dan kebijakan politik para calon legislatif, banyak pemilih lebih mudah dipengaruhi oleh imbalan finansial daripada melihat substansi politik yang sebenarnya.
Yang mengkhawatirkan, generasi muda yang bakal mendominasi dalam Pemilu tahun depan, juga termasuk dalam kategori pemilih pemula yang rentan menjadi sasaran praktik politik uang. Hal ini dipicu oleh kurangan pemahaman mereka terhadap politik sejak dini. Menurut survei CSIS (2022), pemilih muda (generasi Z dan milenial) dengan rentan usia 17-39 tahun memegang proporsi 60 persen dari total peserta Pemilu 2024.
Selanjutnya, korban dari politik uang dalam pemilihan legislatif adalah keberlangsungan demokrasi yang sehat dan jujur. Pemilihan seharusnya menjadi sarana bagi warga negara untuk menyampaikan aspirasi dan memilih pemimpin yang dianggap mewakili kepentingan mereka. Namun, dengan adanya politik uang, suara pemilih seolah dijual dan kemungkinan besar tidak mencerminkan kehendak sebenarnya dari masyarakat.
Upaya untuk memerangi politik uang dalam pemilihan legislatif telah dilakukan oleh pemerintah dan lembaga terkait. Undang-undang yang melarang politik uang telah diberlakukan, dan beberapa kasus pelanggaran politik uang telah ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Namun, penegakan hukum terhadap politik uang masih menghadapi tantangan, termasuk sulitnya mengumpulkan bukti yang cukup untuk memproses kasus tersebut.
Karena itu, partai politik juga penting peranannya untuk terlibat dalam upaya memerangi praktik politik uang. Setiap calon anggota legislatif, calon kepala daerah dan calon presiden harus diminta memegang komitmen untuk memerangi praktik uang dan lebih aktif mengedukasi konstituen dan masyarakat tentang bahaya praktik politik uang.
Partai NasDem tetap memegang idealismenya untuk terus mengusung politik tanpa mahar dalam Pemilu 2024. Bahkan setiap bakal calon anggota legislatif NasDem tidak diminta mahar politik untuk mengikuti gelaran pemilu. Termasuk saat mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden 2024. Menurut Ketua Umum NasDem Surya Paloh, langkah sehat ini akan dapat menghasilkan pemimpin terbaik untuk bangsa.
Di samping upaya penegakan hukum, pendidikan politik dan kesadaran masyarakat juga penting dalam memerangi politik uang. Pendidikan politik yang baik dapat meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya memilih berdasarkan substansi politik dan memilih pemimpin yang berkualitas. Selain itu, pemberdayaan masyarakat dalam bentuk pelatihan dan pendampingan juga dapat mengurangi ketergantungan mereka pada politik uang.
コメント