Tren golongan putih atau orang yang tidak menggunakan hak suaranya pada Pemilu 2019 mencapai titik terendah bila dibandingkan dengan data pemilih golput pada pemilu-pemilu sebelumnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ada 34,75 juta orang yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golongan putih (golput) dalam Pemilu 2019. Jumlah itu setara dengan 18,02% dari seluruh daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2019 yang sebanyak 192,77 juta orang.
Angka ini jauh lebih baik daripada data pemilih golput pada pemilu-pemilu sebelumnya. Melansir dataindonesia.id, jumlah pemilih golput pada Pemilu 2019 menurun 40,69% bila dibandingkan periode sebelumnya. Pada Pemilu 2014, jumlah pemilih golput mencapai 58,61 juta orang atau 30,22%.
Meski demikian, perlu adanya kewaspadaan untuk mengantisipasi potensi golput pada Pemilu 2024, terutama dari kalangan pemilih pemula.
Sejauh ini, tingkat golput pada Pemilu 2024 mendatang diprediksi relatif rendah. Ini antara lain bisa dibaca dari survei Litbang Kompas yang dilakukan kepada 1.202 responden pada awal tahun ini.
Hasil survei Litbang Kompas itu mencatat hanya 0,6% Gen Z yang berniat golput. Dibandingkan generasi di atasnya, tercatat 1% milenial muda dan 1,3% milenial tua yang berniat tidak akan menggunakan hak pilih mereka pada Pemilu 2024.
Dalam kategorisasi Litbang Kompas dalam survei tersebut, responden berusia 17-26 tahun digolongkan sebagai Gen Z. Sedangkan Gen Y adalah responden berusia 27-33 tahun, Gen X 34-55 tahun, dan baby boomers 56-74 tahun.
Memang alasan pemilih untuk golput tidak dapat diseragamkan. Selain karena faktor teknis seperti berhalangan hadir atau tidak mendapatkan kartu pemilih, golput juga bisa dilatarbelakangi oleh faktor non-teknis. Seperti aura pesimistik terhadap hasil pemilu, di mana pemilih tidak percaya bahwa pemilu bisa mendatangkan perubahan dan perbaikan pada masa mendatang.
Biasanya mereka yang golput berangkat dari kekecewaan atau melihat kenyataan yang tidak sesuai ekspektasi. Namun bila logika ini dibalik, justru dengan berpartisipasi aktif pada pemilu, kita menjadi warga negara yang bertanggung jawab sebab turut bersumbangsih menyuarakan perubahan walaupun hanya setitik di antara ratusan juta suara pemilih.
Dengan mencoblos, kita menunjukkan arti kedaulatan yang sesungguhnya bahwa kekuasaan betul-betul berada di tangan rakyat. Karena arus perubahan politik untuk jangka lima tahun ke depan, betul-betul ditentukan oleh akumulasi pilihan politik para peserta pemilu di balik bilik suara.
Para penyelenggara pemilu dan partai politik juga perlu meningkatkan peranannya untuk terus mengampanyekan partisipasi pemilu supaya masyarakat secara sadar menggunakan hak pilihnya.
Selain itu dan ini yang paling penting, para pejabat dan anggota legislatif juga harus membuktikan kinerjanya di lembaga pemerintahan, karena mereka bisa duduk di sana berkat suara rakyat. Jika kinerja mereka mendapatkan sentimen negatif, tentu akan menggembosi semangat masyarakat dalam mengsukseskan pemilu.
Comments