Teknologi tidak hanya mengubah cara manusia melakukan sesuatu, melainkan juga mengubah bagaimana mereka berpikir. Ini lah sesungguhnya yang dikhawatirkan dari kemajuan teknologi: mampu mengubah cara berpikir manusia.
Pertanyaannya, apakah manusia sudah siap dengan perubahan yang begitu cepat? Apakah negara, dalam hal ini aturan perundang-undangan, telah menyediakan produk hukum yang mampu mengatur segala perubahan yang begitu drastik tersebut?
Di sisi lain, manusia tidak mungkin kembali ke masa lalu, meninggalkan segala pencapaian maha megah yang kita sebut revolusi 4.0 itu. Kita mungkin patut bersyukur atas kemajuan ini, tetapi kita juga harus waspada, karena setiap perubahan besar pasti memakan korban. Anda kah korban perubahan itu?
Kira-kira ini lah topik pembahasan besar yang disajikan dalam film berjudul The Social Dilemma (2020). Film ini sengaja dihadirkan dalam acara Bedah Film yang diselenggarakan oleh DPP Partai NasDem Bidang Kaderisasi dan Pendidikan Politik di Panglima Item Library, Gedung NasDem Tower, Jakarta, Jumat (11/8/2023).
Film dokumenter ini menyoroti dampak sosial, psikologis, dan politik dari penggunaan media sosial dan teknologi digital. Dirilis pada tahun 2020, film ini menghadirkan wawasan mendalam tentang bagaimana platform media sosial memanipulasi perilaku pengguna dan dampaknya terhadap masyarakat luas.
Film ini dikemas dengan dramatisasi naratif dan wawancara dari para ahli, mantan eksekutif teknologi, dan insinyur yang bekerja di perusahaan-perusahaan teknologi terkemuka. Mereka bersama-sama mengungkapkan perincian tentang bagaimana algoritma dan desain platform sosial diciptakan untuk mempengaruhi emosi, perhatian, dan kebiasaan pengguna, dalam rangka meningkatkan keuntungan finansial bagi perusahaan.
“Kalau Anda tidak membayar sebuah produk, maka Anda adalah produk itu sendiri,” kata Richard Watson, salah satu narasumber dalam film tersebut.
Selain itu, film ini juga membahas dampak politik dari informasi yang disajikan dalam media sosial. Pengguna media sosial disuguhkan gambaran tentang bagaimana algoritma memperkuat paham-paham ekstrem, menciptakan "gelembung informasi" di mana pengguna hanya terpapar pandangan yang sudah sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.
Ini dapat merusak proses demokrasi dan menciptakan pemahaman yang dangkal tentang realitas sosial dan politik. Namun karena tujuan utamanya adalah mencari keuntungan, maka itu sangat mungkin terjadi.
“Algoritma mencari tahu apa yang paling mungkin Anda klik. Itu lah satu-satunya yang hendak mereka optimasi. Mereka tidak mengoptimasi (konten) yang benar, (konten) yang bereputasi, atau (konten) yang terpercaya,” tegas Tristan Haris dalam film tersebut.
Sesi pertama acara ini, yaitu nonton bareng, berjalan dengan hikmat. Dihadiri lebih dari 50 orang kader NasDem dan para simpatisan dari berbagai daerah. Mulai dari Jakarta Utara, Tangerang, bahkan ada berasal dari Sumatera Utara.
Sesi selanjutnya, adalah acara yang paling ditunggu-tunggu, yaitu bedah film oleh dua narasumber, yaitu Ketua DPP Partai NasDem Bidang Pemilih Pemula dan Milenial Lathifa Marina Al Anshori dan Ahli Komunikasi Politik Silvanus Alvin.
Dalam paparannya, Lathifa mengatakan, apa yang terjadi dalam film ini juga terjadi di Indonesia. Khususnya terkait dengan isu politik identitas. Namun, dirinya menyebut bahwa politik identitas itu jangan terlalu disalahkan.
“Terjadi, politik identitas jangan terlalu disalahkan karena itu ada teorinya. Secara umum, identitas adalah sesuatu yang bisa membuat seseorang bangga terhadap dirinya sendiri,” katanya.
Identitas seseorang itu melekat pada diri, dan itu merupakan anugerah dari Tuhan yang kita sendiri tidak bisa memilih. Oleh karena itu, dirinya menyebut bahwa identitas seseorang adalah modal yang akan membuat seseorang berharga dan pantas dihormati.
“Tidak bisa misalnya, saya orang Padang tiba-tiba dibilang orang Aceh, dari mananya? Setiap orang memiliki identitas masing-masing yang membuatnya berharga dan pantas dihormati,” bebernya.
Melanjutkan pembahasan mengenai relevansi film tersebut, Lathifa mengatakan, persamaan antara Pemilu 2016 di Amerika dengan Pilkada DKI 2017, bahwa keduanya berkaitan dengan identitas seseorang.
“Apa yang sama antara Pemilu 2016 di Amerika dengan Pilkada DKI 2017 adalah bahwa saat itu identitas seseorang dicongkel betul-betul,” kenangnya.
Dipaparkan Lathifa, bahwa identitas pemilu di Jaksel, meskipun kental dengan budaya hidup perkotaan seperti clubbing, namun merupakan basis suara Islam.
“Apakah ini akan terjadi lagi di Indonesia? Belum tentu, karena masing-masing platform ini memperketat regulasi terkait konten politik, itu terjadi platform lama seperti Facebook atau yang baru seperti TikTok sudah lebih ketat,” ucapnya.
Propaganda di medsos begitu masif, sehingga tidak semua orang mampu memilah informasi yang benar atau yang salah. Lantas, apakah masih perlu menggunakan medsos, mengingat keburukannya cukup besar.
Dan apakah jika kita tidak menggunakan medsos, akan ketinggalan info-info politik? Lathifa menjawab, bahwa sebetulnya tidak ada yang benar-benar terlewatkan. Karena medsos bukan satu-satunya sarana untuk menggali informasi.
“Saya tahu orang-orang yang tidak memakai media sosial tetapi mereka tetap sukses. Contohnya Cillian Murphy, bintang utama di film Oppenheimer itu tidak punya media sosial. Selanjutnya ada Pak Basuki Menteri PUPR itu masih pakai hape jadul dan bahkan tidak menggunakan WhatsApp,” katanya.
Namun, menurutnya, semua itu tergantung pada mindset kita, hanya saja kita saat ini sedang berlari mengejar suara. Kita punya kepentingan dalam memenangkan pilpres mendatang.
Lathifa mengajak agar cermat dalam bermedia sosial. Perlu diperhatikan bahwa di medsos itu ada yang dipengaruhi dan ada yang mempengaruhi.
Film ini, kata Lathifa, membicarakan tentang kita sebagai user dipengaruhi, sedangkan dalam konteks kita, atau kalau bagi calon legislatif misalnya, adalah harus menjadi yang mempengaruhi.
Lalu bagaimana cara mempengaruhi di media sosial? Lathifa membeberkan caranya, salah satunya dengan membuat snakeable content, atau konten-konten ringan yang durasinya pendek, atau biasa disebut sebagai konten receh yang bisa dinikmati kapan saja.
Lalu bagaimana agar kita tidak terpengaruh di medsos, bahkan menjadi korban propaganda kepentingan tertentu?
Dia menyebut, yaitu dengan mengubah pengaturan medsos, ketik nama yang ingin kita pantau di search Google, Instagram atau TikTok, misalnya Anies Baswedan, lalu scroll sekitar 15 menit perhari.
“Dengan begitu, algoritma yang masuk ke sosmed kita otomatis berubah seperti yang kita inginkan,” bebernya.
Namun, kalau untuk para caleg ada cara lain untuk mempengaruhi konstituen, salah satunya dengan meminta kepada mereka untuk menekan tombol lonceng notifikasi agar tidak ketinggalan konten-konten terbaru.
Menurut Lathifa, penggunaan media sosial saat ini sangat penting, utamanya dalam kontestasi politik. Karena kalau kita tidak melakukan strategi yang tepat dalam bermedia sosial, maka orang lain akan melakukannya.
“Jangan lupa untuk 14 Februari 2024, kaka-kaka semua berusaha memenangkan suara, maka kita harus atur strategi yang baik,” pungkasnya.
Sementara itu, Silvanus Alvin, mengatakan apresiasinya terhadap Partai NasDem karena telah secara serius memberikan pendidikan politik terhadap para kader, salah satunya lewat acara bedah film ini.
“Saya sangat senang dengan acara seperti ini, karena NasDem benar-benar memberi pendidikan politik,” katanya.
Mengawali paparannya, Alvin mengatakan bahwa ada tiga perspektif yang bisa kita gunakan dalam melihat fenomena medsos saat ini, yaitu perspektif utopia, distopia, tekno-realisme.
Utopia, dia menjelaskan, yaitu memandang bahwa perkembangan teknologi itu berjalan ke arah yang baik. Sedangkan, distopia, memandang bahwa perkembangan teknologi membawa ke arah yang negatif. Sementara tekno-realisme, dapat diartikan bahwa teknologi itu seperti pisau, bisa kita gunakan untuk kebaikan juga bisa untuk hal buruk.
“Bagi saya, teknologi ini harus kita lihat sebagai perspektif tekno-realisme. Bahwa teknologi ini bisa membawa kebaikan dan juga keburukan,” tandasnya.
Mengenai penggunaan media sosial di kalangan politisi, Alvin menyebut bahwa kader NasDem termasuk yang paling aktif dan telah memberi contoh bagaimana cara menggunakan medsos dengan baik.
“Saya lihat Bang Syahroni. Bahwa yang dia lakukan adalah menolong orang menggunakan media sosial. Dia tidak melakukan pencitraan di medsos, seperti salaman dengan ibu-ibu di pasar. Dia tampil apa adanya,” katanya.
“Selain Syahroni, ada juga sosok Brigita Lasut yang juga merupakan anggota DPR paling muda, yang juga kader NasDem, juga sangat aktif di medsos dan membantu orang lewat medsosnya,” kata dia.
Dari contoh di atas, Alvin mengatakan bahwa jika medsos dikelola oleh tangan yang benar maka akan menjadi hal yang positif. Justru yang perlu didiskusikan, menurut dia, adalah bagaimana medsos di tangan kader NasDem bisa jadi lebih bermanfaat.
“Kenapa? Karena kita tidak bisa membicarakan arsitektur (media sosial), karena itu milik orang Amerika. Kita tidak bisa mengatur sistem yang ada di dalam media sosial itu, kita hanya bisa mengatur bagaimana cara menggunakannya,” tandasnya.
Mengenai fungsi media mala dan media baru, Alvin mengungkap sebuah teori media bernama hybrid-media. Teori ini mengatakan, bahwa kita tidak bisa menghilangkan peran antara media baru dan media lama.
“Dalam konteks politik kita, bahwa kita tidak bisa menghilangkan media berbasis jurnalistik. Kekuatan media saat ini adalah untuk melakukan fake-checking, jika ini hilang, maka esensi media akan hilang,” ungkapnya.
Menurut dia, saat ini media sosial menciptakan firehose of falsehood (semburan dusta) di mana sulit menemukan sumber yang benar. Dengan begitu, maka kita secara akan bersandar pada media jurnalistik.
“Di era ini kita harus benar-benar mampu beradaptasi karena pemilih mendatang adalah generasi yang akrab dengan media sosial,” katanya.
Dia lalu mencontohkan bagaimana Joe Biden bisa menang di pemilu 2017 itu karena peran influencer, “Joe Biden dalam satu waktu berbicara dengan Olivia Rodrigo, salah satu influencer ternama di Amerika. Dia cuma ngobrol dalam sebuah konten nonpolitik, tapi sifatnya politis.”
Dalam konteks Indonesia, dia mencontohkan seperti Anies yang sedang ngobrol dengan Deddy Corbuzier tentang makanan kesukaan masa kecil. Konten ini memang terlihat nonpolitik, tetapi akan berdampak politis.
“Saya berpendapat bahwa pilpres mendatang adalah pertarungan para influencer. Siapa yang bisa menaklukkan influencer, dia lah yang akan keluar sebagai juara,” pungkasnya.
Comments