Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memenangkan gugatan Partai Adil Rakyat Adil Makmur (Partai Prima) terhadap KPU pada 2 Maret lalu banyak menyiratkan kejanggalan. Bagaimana tidak, dalam salah satu keputusannya, majelis hakim memerintahkan KPU untuk menunda Pemilu 2024, atau dalam bahasa Ketum Partai Prima, "menghentikan proses pemilu".
Menjelang tahun politik 2024, wacana penundaan pemilu masih menjadi isu yang cukup kuat berhembus saat ini. Meski mayoritas masyarakat Indonesia, menurut banyak hasil survei, justru menolak penundaan pemilu, upaya penundaan pemilu kali ini dilakukan lewat jalur pengadilan.
Maka logis kiranya bila keputusan PN Jakarta Pusat yang memenangkan gugatan Partai Prima ditolak oleh banyak partai politik, peneliti dan pemerintah sendiri.
NasDem melihat penundaan pemilu melanggar konstitusi dan mendorong keputusan PN Jakpus untuk tunda pemilu 2024 dieksaminasi. KPU sendiri menegaskan tidak ada penundaan pemilu dan akan mengajukan banding putusan PN Jakpus pekan ini. Langkah KPU ini mendapatkan dukungan dari Presiden Jokowi. "Pemerintah mendukung KPU untuk naik banding," ujarnya.
Penolakan terhadap keputusan penundaan pemilu tersebut bisa diperkuat dengan perbagai kecurigaan yang membayanginya.
Ketua Fraksi NasDem MPR Taufik Basari melihat keputusan PN Jakpus yang berimplikasi pada penundaan pemilu itu janggal bahkan mencurigakan. Dia menyinggung soal kewenangan mengadili dalam memutuskan hukum administrasi negara yang diterobos oleh PN Jakpus.
"Putusan tunda Pemilu 2024 oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berbahaya bagi konstitusi sebab, perintah menunda pemilu tersebut bisa menciptakan kekacauan ketatanegaraan," Taufik dalam video yang diunggah dalam instagramnya, Jumat (3/2/2023).
Merujuk Pasal 468 dan Pasal 470 Undang-Undang Pemilu, yurisdiksi hukum bukan Pengadilan Negeri, melainkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Taufik melihat, PN Jakarta Pusat memaksakan diri untuk menangani perkara ini dan mengabulkan gugatan Partai Prima.
Hal serupa juga dikatakan Fadli Ramadhani, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Menurut dia, PN Jakpus tidak memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa administrasi terkait keikutsertaan partai politik peserta pemilu dan juga tidak memiliki kewenangan untuk menentukan apakah suatu tahapan pemilu itu bisa ditunda atau tidak.
Adapun kewenangan PN dalam penanganan perkara perbuatan melanggar hukum (PMH) telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 Pasal 10 dan Pasal 11. Di sana disebutkan, jika ada pihak yang mengajukan perkara PMH ke Pengadilan Negeri, maka perkara bakal dilimpahkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Selain melanggar yurisdikasi, pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga telah melanggar UUD Negara RI Tahun 1945 yang menetapkan bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Putusan menunda Pemilu 2024 jelas menabrak konstitusi sehingga vonis PN Jakpus dinilainya cacat.
Taufik Basari menambahkan keputusan perdata mengikat pihak-pihak terkait, dalam hal ini pihak penggugat (Partai Prima) dan tergugat (KPU) sementara keputusan PN Jakpus berimplikasi luar secara ketatanegaraan bahkan melanggar konstitusi.
"Andaikan hendak dijalankan, keputusan ini masuk kategori non executable. Meski berkekuatan hukum, namun tidak dapat dieksekusi," tegas Taufik.
Selanjutnya, tidak ada pertimbangan hukum memadai bahkan dipaksakan di balik keputusan PN Jakpus ini. Taufik berharap PTUN mengambil tindakan dan membatalkan keputusan tersebut. "Tidak ada satu pun alasan yang bisa membenarkan alasan ini," tegas Ketua Badan Advokasi Hukum Partai NasDem ini.
Dengan tidak adanya pertimbangan fundamental dari keputusan PN Jakpus ini, sulit untuk tidak menaruh curiga akan adanya gerakan manuver politik sistematis yang bertujuan untuk mengganggu proses dan tahapan pemilu 2024. Ini tidak menutup kemungkinan terkait dengan upaya penundaan pemilu sebelumnya, seperti wacana perpanjang masa jabatan presiden, perpanjangan masa jabatan kepala desa, dan wacana amandemen Undang-undang Dasar 1945.
Tatanan politik Indonesia, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dengan tegas menyatakan bahwa pemilu harus dijalankan setiap 5 tahun. Kita harus waspada terhadap segala upaya dan gerakan yang mencoba mengupayakan pemilu 2024 yang telah diamanatkan oleh UU dan konstitusi.
Comments